HUKUM FINTECH
(H. Dr Dwi Chondro Triono Ph.D)
A. PENDAHULUAN
Untuk studi kasus yang terakhir dalam buku ini kita akan mengangkat pembahasan tentang hukum fintech. Mengapa masalah fintech ini perlu kita bahas secara khusus? Di era yang disebut era industri 4.0 ini, para pebisnis tentu tidak bisa dilepaskan dengan transaksi bisnis yang menggunakan aplikasi fintech. Tidak hanya para pebisnis tentunya, bahkan masyarakat luas secara umum saat ini tentu sudah tidak bisa melepaskan diri dari transaksi-transaksi yang menggunakan fintech. Bagaimana hukum transaksi bisnis yang menggunakan fintech ini? Inilah yang akan kita bahas dalam studi kasus terakhir dalam bab ini.
Transaksi keuangan yang menggunakan fintech akhir-akhir ini memang sudah merambah ke dalam semua aspek bisnis dan semua aspek kehidupan. Boleh dikatakan, masa depan bisnis dalam peradaban manusia mungkin akan ter-disruption ke dalam transaksi yang menggunakan fintech ini. Kita akan semakin jarang menemukan manusia yang bertransaksi menggunakan uang cash. Semuanya akan tergiring untuk menggunakan uang digital atau electronic money (e-money) dengan menggunakan aplikasi fintech ini. Inilah kenyataan yang terjadi. Mereka yang mencoba untuk bertahan dengan uang cash, akan tergerus oleh zaman dengan sendirinya.
Dalam pembahasan di bab ini, sebagaimana alur yang sudah dijelaskan sebelumnya, akan diawali dengan pembahasan tentang fakta dari transaksi yang menggunakan fintech ini. Dalam bab ini, tidak semua fakta tentang fintech ini akan dibahas. Namun, hanya transaksi yang paling penting atau utama, yang saat ini paling banyak digunakan oleh para pebisnis maupun masyarakat luas.
Pembahasan berikutnya adalah menunjukkan berbagai pendapat ulama kontemporer yang telah memberikan status hukum terhadap transaksi yang menggunakan fintech ini. Pada bagian selanjutnya, barulah akan dilakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada. Dalam bab ini tentu akan ditunjukkan pendapat yang paling kuat (rajih), sehingga pendapat itulah yang wajib untuk kita amalkan.
Nah, yang menjadi pertanyaan penting dalam pembahasan bab ini adalah: apakah transaksi yang menggunakan fintech ini hukumnya halal ataukah haram? Inilah pertanyaan yang hendak dijawab dalam bab ini. Marilah kita bahas secara mendalam, satu per satu dalam sub-bab berikut ini.
B. FINTECH
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebelum kita mengkaji tentang hukum fintech, kita harus mengkaji terlebih dahulu fakta dari fintech itu sendiri. Fintech atau financial technology dapat diartikan sebagai inovasi dalam layanan keuangan (innovation in financial services).
Fintech ternyata dapat memiliki banyak jenis, diantaranya adalah: startup pembayaran, peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), investasi ritel, pembiayaan (crowdfunding), remitansi, riset keuangan dan lain-lain. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam fintech di Indonesia juga sudah cukup banyak. Di antaranya adalah: Go-Pay, Ovo, Pay-Tren, Dana dsb.
Oleh karena itu, mengingat banyaknya jenis dari fintech ini, dalam bab ini tentu tidak akan dibahas semuanya. Namun, akan dibahas jenis fintech yang saat ini paling banyak digunakan untuk bertransaksi secara luas oleh kalangan pebisnis maupun masyarakat umum.
Termasuk, perusahaan-perusahaan fintechnya-pun tidak akan dibahas semuanya. Namun, hanya akan dibahas satu perusahaan fintech yang cukup populer di Indonesia. Pengambilan nama satu perusahaan ini, hanya kita anggap sebagai contoh untuk studi kasus saja dan semata-mata hanya untuk memudahkan pemahaman penyebutan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam pembahasan ini, kita harus menyebutkan pihak perusahaannya dengan pihak penggunanya (user atau customer). Tidak ada maksud untuk membahas perusahaannya sebagai obyek pembahasan secara khusus, kecuali hanya sekedar contoh.
Dengan demikian, dalam bab ini pembahasan jenis fintech dan perusahaannya akan dibatasi pada:
1. Pembahasan aplikasi fintech hanya pada startup pembayaran saja.
2. Studi kasus yang dikaji adalah startup pembayaran dari perusahaan Go-Pay dan Go-Jek.
3. Transaksi startup pembayaran Go-Pay yang dijadikan obyek pembahasan adalah untuk pembayaran yang menggunakan aplikasi Go-Jek.
4. Fokus pembahasannya adalah: apa hukumnya apabila Go-Jek memberikan diskon tertentu kepada pengguna ketika menggunakan aplikasi pembayaran melalui Go-Pay?
C. PENGKAJIAN FAKTA TRANSAKSI FINTECH
Setelah kita memahami fakta dari fintech itu sendiri, serta batasan pengkajian yang akan dibahas dalam bab ini, yaitu pembahasan yang hanya berkaitan dengan penggunaan jasa startup pembayaran yang menggunakan aplikasi fintech, maka selanjutnya kita akan masuk pada pembahasan dari fakta transaksi dari startup pembayaran tersebut.
Untuk memudahkan pemahaman tentang fakta dari transaksi dengan startup pembayaran dalam fintech tersebut, akan kita tunjukkan dalam butir-butir yang penting berikut ini:
1. Transaksi dilakukan antara pihak pengguna dengan pihak Go-Jek dengan menggunakan aplikasi pembayaran Go-Pay.
2. Go-Jek dan Go-Pay adalah satu grup perusahaan.
3. Pihak pengguna memiliki semacam “rekening” dalam aplikasi Go-Pay yang mirip dengan deposit e-money.
4. Cara pembayarannya adalah: pihak pengguna “memerintahkan memindahkan” sejumlah dana tertentu dari “rekening” yang ada di Go-Pay untuk membayar jasa Go-Jek.
5. Go-Jek memberikan diskon tertentu kepada pengguna, karena menggunakan aplikasi Go-Pay.
6. Pihak Go-Jek tidak memberikan diskon, jika pembayaran dilakukan secara tunai.
Paling tidak, itulah 6 butir penting dalam transaksi startup pembayaran yang menggunakan aplikasi fintech. Setelah kita memahami fakta tersebut, lantas apa permasalahannya?
Permasalahan penting yang akan dibahas di dalam bab ini adalah: transaksi pembayaran jasa Go-Jek yang menggunakan aplikasi pembayaran Go-Pay, kemudian mendapat diskon tertentu dari Go-Jek tersebut, hukumnya halal atau haram?
Ternyata ada beberapa pendapat dari para ulama kontemporer, yang jika dikelompokkan, maka ada 2 pendapat yang berkaitan dengan transaksi tersebut:
1. Pendapat yang menghalalkan.
2. Pendapat yang mengharamkan.
Selanjutnya, yang akan kita bahas adalah, bagaimana hujjah dari para ulama kontemporer berkaitan dengan transaksi startup pembayaran tersebut? Mengapa ada yang menghalalkan, ada juga yang mengharamkan? Marilah kita kaji dalam sub-bab selanjutanya.
D. PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Jika kita melakukan pengkajian yang mendalam, munculnya perbedaan pendapat dari kalangan ulama kontemporer tersebut, adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam melihat fakta dari deposit pengguna dalam aplikasi Go-Pay. Ada 3 pendapat yang berkaitan dengan fakta deposit tersebut. Apa ketiga fakta tentang deposit menurut para ulama kontemporer tersebut?
Ketiga pendapat ulama kontemporer tentang fakta deposit tersebut adalah:
1. Deposit itu dianggap sebagai transaksi titipan (wadhi’ah).
2. Deposit itu dianggap sebagai ujrah (upah) yang dibayarkan dimuka atau disegerakan.
3. Deposit itu dianggap sebagai transaksi utang-piutang (qardh).
Dari ketiga pendapat yang berkaitan dengan fakta dari deposit tersebut menghasilkan dua pendapat hukum, yaitu:
1. Pendapat Yang Membolehkan
• Transaksi tersebut dibolehkan, karena deposit dalam aplikasi Go-Pay tersebut dianggap sebagai transaksi titipan (wadhi’ah).
• Transaksi tersebut dibolehkan, karena deposit tersebut dianggap sebagai ujrah yang dibayarkan di depan.
• Oleh karenanya, adanya diskon tidak dianggap sebagai riba.
2. Pendapat Yang Mengharamkan
• Transaksi tersebut dibolehkan, karena dianggap sebagai transaksi utang-piutang (qardh).
• Namun, jika dalam transaksi tersebut memunculkan manfaat, yaitu diskon, maka diskon tersebut masuk kategori riba, sehingga hukumnya haram.
• Jika tidak ada diskon, maka transaksi tersebut tetap dibolehkan (halal).
E. TARJIH
Untuk melakukan tarjih terhadap kedua pendapat di atas, maka kita harus mengkaji tiga pendapat yang berkaitan dengan pemahaman terhadap fakta deposit pembayaran yang berbeda-beda antar ulama kotemporer tersebut.
Pembahasan terhadap ketiga pendapat tentang fakta deposit pembayaran tersebut, akan kita kaji satu per satu sebagai berikut:
1. Apakah Deposit Dapat Dikategorikan Sebagai Titipan (Wadhi’ah)?
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas secara tepat, maka kita harus melihat kembali apa yang dimaksud dengan titipan (wadhi’ah) itu sendiri. Definisi titipan (wadhi’ah) secara syar’i adalah:
الوَدِيْعَةُ اِصْطِلَاحًا: اَلْمَالُ الْمَدْفُوْعُ اِلَى مَنْ يَحْفَظُهُ بِلَا عِوَضٍ
“Wadhi’ah menurut istilah syara’ adalah harta yang diserahkan kepada seseorang yang akan menjaganya tanpa imbalan”.
Dari definisi di atas, hal utama dalam transaksi wadhi’ah adalah penjagaan terhadap harta yang ditipkan. Penjagaan maknanya adalah bahwa harta yang ditipkan itu adalah harta yang sama dengan harta yang nantinya akan diambil kembali oleh pemiliknya. Artinya, tidak ada pemindahan kepemilikan sama sekali dalam transaksi wadhi’ah tersebut. Jika harta yang ditipkan itu ketika dikembalikan adalah dalam bentuk harta lain yang semisal atau senilai, bukan harta yang semula, maka transaksi tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi wadhi’ah.
Padahal faktanya, harta yang telah didepositkan ke Go-Pay, tidak hanya untuk dijaga oleh pihak Go-Pay, namun juga akan dimanfaatkan oleh pihak Go-Pay. Oleh karenanya, jika harta itu akan dikembalikan atau dimanfaatkan kembali oleh pihak yang mendepositkan, harta itu adalah harta yang lain yang semisal atau senilai, bukan harta yang semula.
Dari penjelasan ini, maka kita dapat mengatakan bahwa deposit pada Go-Pay tidak dapat dikategorikan sebagai titipan (wadhi’ah). Selain itu, jika deposit pada Go-Pay itu masuk dalam kategori wadhi’ah, maka pihak Go-Pay harus menyediakan kotak penyimpanan (save deposit box). Tidak hanya itu, jika deposit ini dianggap sebagai wadhi’ah, maka pihak Go-Pay juga tidak boleh memanfaatkan dana yang ditipkan tersebut.
2. Apakah Deposit Dapat Dianggap Sebagai Ujrah yang Dibayarkan di Depan?
Pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang menganggap bahwa dana yang telah di-deposit-kan ke dalam Go-Pay dianggap sebagai ujroh (upah) pembayaran terhadap akad ijarah yang akan diberikan pada waktu kemudian. Akad ijarah tersebut dikenal dengan istilah ijarah maushufah fi adz-dzimmah, yaitu suatu akad ijarah (jasa), dimana pengguna membayar terlebih dahulu terhadap jasa yang telah terdeskripsikan (jasa spesifik tertentu), sedangkan manfaat (jasa) akan diberikan belakangan.
Bagaimana kita dapat menilai pendapat ini? Untuk dapat menilainya, kita awali terlebih dahulu pembahasannya dengan melihat kembali definisi dari ijarah, yaitu:
أمَّا فِيْ الشَرْعِ فَالْإجَارَةُ هِيَ عَقْدٌ عَلىَ المَنْفَعَةِ بِعِوَضٍ
“Ijarah secara istilah syar'i adalah akad atas manfaat dengan kompensasi (iwadh)”.
Setelah kita faham apa yang disebut dengan ijarah, maka marilah kita melihat kembali terhadap dana yang telah di-deposit-kan ke Go-Pay.
Apakah deposit ke Go-Pay tersebut dapat dikategorikan sebagai ujrah yang dibayar di muka terhadap suatu ijarah tertentu, yang jasanya akan diberikan kemudian?
Jawabnya, deposit dalam transaksi tersebut tidak dapat disebut sebagai ujroh yang dibayar di muka. Mengapa? Sebab, akad ijarahnya sendiri yang spesifik (yang terdeskripsikan) belum terjadi. Apa contoh akad ijarah yang spesifik?
Kita dapat mengambil contoh akad ijarah yang telah spesifik, yaitu: misalnya akad ijarah untuk mengantar pengguna dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Hotel Sofyan Tebet pada Hari Ahad. Sedangkan akad tersebut dilakukan 2 hari sebelumnya, yaitu Hari Jum’at. Besarnya ujrah (upah) untuk mengantarkan adalah Rp. 50.000, yang dibayarkan dimuka. Inilah contoh akad ijarah maushufah fi adz-dzimmah.
Lantas, bagaimana dengan deposit dana ke dalam Go-Pay? Dalam transaksi tersebut, yang terjadi barulah akad untuk membayar sejumlah uang di Go-Pay atau membayar deposit. Sedangkan akad ijarah yang spesifik belum ada.
Dengan demikian, karena akad ijarah yang spesifik belum terjadi, maka sebenarnya ujrohnya sendiri juga belum ada secara hukum (de jure). Jika akad yang pokok, yaitu akad ijarah belum ada, maka ujroh yang harus dibayarkan sebagai konsekuensi dari akad ijarah juga belum ada. Kaidah fiqih menyebutkan:
إذَا سَقَطَ الْأصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ
“Jika gugur persoalan pokok, gugur pula persoalan cabangnya”. (M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 1/271).
Berdasarkan kaidah ini, jika akad ijarahnya belum terjadi, maka ujrah sebagai konsekuensi akad ijarah itu juga belum dianggap ada.
3. Apakah Deposit Dapat Dianggap Sebagai Utang-Piutang (Qardh)?
Untuk pendapat yang ketiga, deposit yang telah dibayarkan ke Go-Pay dianggap sebagai utang-piutang atau qardh. Dengan kata lain, deposit tersebut dianggap sebagai uang atau dana yang diutangkan (dipinjamkan) oleh pengguna kepada Go-Pay. Apakah benar demikian?
Untuk dapat memahaminya, marilah kita lihat kembali, apa yang disebut dengan qardh. Pengertian qardh (pinjaman), menurut Syaikh Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi (1988), didefinisikan sebagai berikut:
القَرْضُ :مَا تُعْطِيْهِ مِنَ الْمِثُلِيَاتِ لِيُرَدَّ لَكَ مِثْلُهُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ
“Pinjaman (qardh) adalah apa-apa yang kamu berikan berupa harta mitsliyat (harta semisal) untuk dikembalikan kepadamu harta yang semisalnya pada masa yang akan datang” (Qal’ah Jie dan Qunaibi, 1988).
Sedangkan makna mitsliyat, menurut para ‘ulama, dapat didenisikan sebagai berikut:
اَلْمِثْلِيَّات فِي الْاِصْطِلَاحِ كُلُّ مَا يُوْجَدُ لَهُ مِثْلُ فِي الأسْوَاقِ بِلَا تَفَاوُتٍ يَعْتَدُ بِهِ، بِحَيْثُ لَا يَخْتَلِفُ بِسَبَبِهِ الثَّمَنِ
“Mitsliyat (harta semisal) menurut istilah adalah apa-apa yang didapati yang semisalnya di pasar tanpa ada perbedaan yang signifikan, dalam arti perbedaan yang ada, tidak mengakibatkan perbedaan harga” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).
Inti dari definisi qardh di atas adalah bahwa qardh adalah harta yang telah diberikan oleh peminjam kepada yang dipinjami. Oleh karena itu, harta yang telah dipinjamkan tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh peminjam. Selanjutnya harta yang dikembalikan bukanlah harta yang semula, namun harta yang semisal atau senilai. Dengan demikian, fakta yang paling tepat dari deposit yang telah dibayarkan pihak pengguna kepada Go-Pay adalah akad qardh.
Oleh karena itu, qardh yang ada di Go-Pay tersebut, secara Syariah boleh dimanfaatkan oleh pengguna sebagai harga bagi transaksi jual beli atau ujrah untuk transaksi ijarah, yaitu dengan menggunakan akad hawalah.
Apakah transaksi hawalah itu? Sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, definisi dari hawalah, yaitu:
الحَوَالَةُ هِيَ تَحْوِيْلُ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ مَنْ يُطَالِبُهُ بِالْحَقِّ عَلَى آخَرٍ لَهُ عِنْدَهُ حَقٌّ
“Hawalah adalah pemindahan hak oleh pihak pertama yang berkewajiban menunaikan hak, dari orang yang menuntut hak kepadanya, kepada orang lain yang berkewajiban menunaikan hak kepada orang pertama tadi” (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, II/348).
Menurut definisi di atas, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hawalah adalah pengalihan utang. Dalam transaksi hawalah menurut definisi di atas, ada tiga pihak yang terlibat dalam pengalihan utang.
Dari pemahaman hawalah ini, selanjutnya kita dapat mengkaji transaksi hawalah yang terjadi dalam aplikasi fintech ini. Praktik transaksi hawalah dalam aplikasi fintech ini juga ada 3 pihak, yaitu: pihak Pengguna, Go-Pay dan Go-Jek. Untuk memahami praktiknya secara lebih mendalam, dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini:
Misalnya, pihak Go-Pay telah menerima deposit dari Bapak Joko sebesar Rp. 100.000. Deposit ini dapat dianggap sebagai utang Go-Pay terhadap Pak Joko. Selanjutnya, Pak Joko menggunakan layanan Go-Jek untuk mengantar Pak Joko dari rumahnya ke pasar. Ujrah atau biaya jasa pengantarannya adalah sebesar Rp. 50.000 dan belum dibayar secara tunai. Selanjutnya, karena Pak Joko memiliki piutang kepada Go-Jek, maka Pak Joko “memerintahkan” untuk mengalihkan piutangnya (hawalah) yang ada di Go-Pay untuk dibayarkan kepada Go-Jek.
Demikianlah contoh transaksi hawalah antara ketiga fihak di atas. Hukum hawalah tersebut boleh, dengan syarat: akad jual beli atau ijarah-nya telah ada, bukan yang belum ada.
Dari tinjauan hukum hawalah ini, semakin mempertegas bahwa deposit pembayaran dalam Go-Pay tersebut, lebih tepat masuk dalam kategori aqad qardh (utang-piutang). Sebab, pada hakikatnya hawalah adalah akad pengalihan utang-piutang (qardh).
Selanjutnya, masih ada satu persoalan lagi. Jika deposit itu adalah qardh, maka manfaat apa saja yang muncul dari qardh, baik berupa uang, barang atau jasa, maka manfaat itu dapat dikategorikan sebagai riba. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, terdapat dalil-dalil yang mengharamkan manfaat yang muncul dari qardh. Manfaat tersebut dianggap sebagai riba. Dalil-dalil tersebut adalah:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba” (HR. Baihaqi).
Dalil berikutnya adalah:
الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
“Seorang laki-laki dari kami meminjamkan (qardh) harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Maka Rasulullah SAW bersabda,'Jika salah seorang kalian memberikan pinjaman, lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan ke atas kendaraannya, maka janganlah dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan sebelumnya." (HR Ibnu Majah).
Oleh karena itu, setiap ada diskon karena pengguna menggunakan aplikasi pembayaran yang menggunakan Go-Pay, dapat dianggap sebagai riba yang haram hukumnya.
Namun demikian, masih ada satu catatan lagi, yaitu jika pengguna mendapatkan diskon itu dari sebuah toko tertentu terhadap barang yang dibeli, bukan diskon dari Go-Pay, maka hal itu adalah boleh atau halal. Dengan syarat, diskon yang diperoleh pengguna itu sama antara yang menggunakan pembayaran secara tunai, maupun dengan yang menggunakan aplikasi Go-Pay. Jika ada perbedaan, yaitu jika membayar dengan menggunakan aplikasi Go-Pay mendapatkan diskon, akan tetapi jika membayar secara tunai tidak mendapatkan diskon dari tokonya, maka diskon tersebut tetap dianggap sebagai riba. Wallahu a’lam.
Demikianlah pembahasan hukum fintech, terutama yang terkait dengan pembahasan fintech dalam startup pembayaran. Semoga bermanfaat.
Allahumma aamiin.