Nusantara.news, Jakarta – Mega proyek Meikarta yang digagas oleh Lippo Group seperti berbalik arah, dari gegap gempita hingga akhirnya berujung pada bergugurannya saham-saham di bawah Lippo Group. Apakah ini pertanda akhir dari gagalnya mega proyek tersebut?
Pada awal Lippor Group memasarkan Meikarta prosesnya sangat gegap gempita. Betapa tidak, bayangkan, kota baru Meikarta akan dibangun megah di kawasan Cikarang dengan nilai investasi mencapai Rp278 triliun. Angka yang sangat besar, kalau tidak bisa dikatakan penggelembungan (bubble) proyek yang sangat massif.
Teori bubble economy coba diterapkan dalam proyek ini. Dikatakan bubble, karena memang kemampuan riil Lippo Group tidak sebesar itu. Artinya, untuk merealisasikan proyek itu, Lippo Group akan mengundang partner sebanyak-banyaknya. Bisa juga bubble adalah sebuah harapan kapitalisasi pasar Meikarta jika semua investor masuk mencapai Rp278 triliun.
Target Lippo, anggaran Rp278 triliun itu bisa menggaet partner dari Jepang, Korea, Taiwan dan banyak lagi, plus pendanaan dari setiap pembeli yang mempercayakan kepada Lippo.
CEO Lippo Group James Riady menyatakan pembangunan kota Meikarta ini melibatkan banyak mitra bisnis. Langkah ini sebagai strategi pendanaan Lippo dalam merealisasikan pembangunan yang direncanakan. Menurutnya, 35% porsi pendanaan berasal dari kas Lippo, sedangkan sisanya dari kerja sama dengan mitra bisnis baik dalam maupun luar negeri.
Ada 120 perusahaan yang bermitra dengan Lippo, 30-40 kontraktor, 20-30 partner dari luar negeri seperti Mitsubishi, Toyota. Mitsubishi berminat bangun 1.000 unit, tapi desainnya khusus lebih ke Jepang. Toyota juga, ingin desain khusus.
Untuk merealisasikan kota baru Meikarta, dibutuhkan lahan 2.200 hektare. Di dalamnya akan dibangun 250.000 unit apartemen, fasilitas umum, hunian komersial, rumah sakit, sekolah, mall, hingga fasilitas pendukung lainnya.
Maka itu, diperlukan marketing yang besar-besaran, konon Lippo sudah mengeluarkan biaya iklan, promosi dan advetorial sedikitnya Rp1,5 triliun.
Namun yang direkomendasikan Pemprov Jawa Barat untuk dapat dikeluarkan izinnya hanya 84,6 hektare saja. Itupun lahan yang memang sejak lama dikuasai PT Lippo Cikarang Tbk. Praktis tidak ada tambahan izin baru, karena menurut Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, lahan seluas yang diharapkan Lippo memang tidak pernah ada.
Bubble mega proyek
Ternyata dalam perjalanannya kota baru Meikarta tidak seindah yang diharapkan, tidak semulus yang didambakan. Balon proyek yang digelembungkan itu tidak serta merta mengundang minat investor. Sehingga angka Rp278 triliun hanyalah tinggal angka yang sulit untuk direalisasikan, ketika investor tak kunjung masuk, maka meletus lah bubble mega proyek tersebut.
Pemicu utama pecahnya bubble mega proyek itu lantaran izin yang keluar tak sesuai harapan, sehingga mendismotivasi para investor untuk masuk. Jadi berapa potensi riil Meikarta sebenarnya?
Sampai dengan akhir kuartal III-2017, proyek yang baru diluncurkan pada Mei 2017 lalu telah mengantongi pendapatan pra-penjualan (marketing sales) senilai Rp4,9 triliun.
Namun, pada akhir Januari 2018 lalu perusahaan mengungkapkan PT Mahkota Sentosa Utama, anak PT Lippo Cikarang Tbk, telah menerima pembayaran senilai Rp2,5 triliun dari investor eksternal sebagai uang muka untuk pembelian saham.
Total uang yang akan dibayarkan oleh investor eksternal tersebut mencapai Rp4 triliun. Setelah penjualan saham selesai dilakukan, kepemilikan Lippo dalam proyek Meikarta akan turun menjadi sekitar 27%, dari yang sebelumnya 54%.
Aksi korporasi tersebut lantas memicu Fitch Ratings untuk menurunkan peringkat jangka Panjang perusahaan. Fitch menurunkan peringkat jangka panjang perusahaan menjadi B+, dari yang sebelumnya BB-.
Seperti sudah disebutkan di atas, kebutuhan pembiayaan untuk Meikarta mencapai Rp278 triliun, Masalahnya, PT Lippo Karawaci Tbk–pemilik 54% saham PT Lippo Cikarang—dan PT Lippo Cikarang sebagai pemilik proyek tidak memiliki dana sebanyak itu. Per akhir kuartal III 2017, total aset Lippo Karawaci adalah sebesar Rp52,4 triliun, sementara untuk Lippo Cikarang hanya sebesar Rp9,5 triliun.
Sehingga total aset Lippo Karawaci dan Lippo Cikarang sebesar Rp61,9 triliun. Sementara CEO Lippo Group James Riady mengatakan sepertiga dari total proyek Meikarta sebesar Rp278 triliun adalah Rp97,3 triliun berasal dari kas perusahaan. Jadi masih selisih kurang sebesar Rp35,4 triliun, antara kas perusahaan yang dibutuhkan sebesar Rp97,3 triliun dengan dengan total aset yang dimiliki dua anak perusahan Lippo sebesar Rp61,9 triliun.
Jika ingin menarik utang pun, tidak mungkin nilainya mencapai ratusan triliun melebihi nilai aset. Jadi angka proyek Rp278 triliun benar-benar angka bubble yang hanya bisa dicapai jika tahapannya benar. Namun karena tahapannya keliru, belum ada rekomendasi, belum ada IMB, dan Amdal, sehingga akhirnya yang terjadi berbalik arah.
Saham berguguran
Harga saham Lippo Group pun berguguran. Sepanjang 2017, saham emiten ritel Lippo Group, PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) merosot 63,35%. Saham PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) terpangkas 26,94%.
Tak cuma ritel, saham properti Grup Lippo pun menyusut. Saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) terkoreksi 34,42% dan saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) merosot 31,68%.
Analis Mirae Asset Sekuritas Taye Shim menilai, penurunan ini sebagian besar disebabkan faktor sektoral yang juga terkoreksi tajam. Perlambatan konsumsi dan aliran uang ke perbankan secara kolektif menjadikan sektor properti dan ritel berada di fase underperform.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Muhammad Nafan Aji tak menampik ada beberapa hal yang menekan prospek Lippo Grpup. Misalnya, penurunan peringkat utang Lippo Karawaci.
Pada Rabu (14/2) lalu, Fitch Ratings menurunkan peringkat surat utang Lippo Karawaci menjadi B+ dari sebelumnya BB-. Ini mencerminkan penurunan arus kas yang signifikan dari penjualan properti, seiring keputusan Lippo Group mendivestasikan porsi saham di proyek Meikarta melalui Lippo Cikarang.
Fitch menyebut, pada 31 Januari lalu, PT Mahkota Sentosa Utama, anak usaha Lippo Cikarang yang membawahi Meikarta, telah menerima uang muka penjualan saham senilai Rp2,5 triliun dari investor eksternal. Ini merupakan bagian dari total penjualan proyek Rp4 triliun.
Jika penjualan sudah selesai, porsi saham Lippo di proyek ini akan turun jadi 27% dari 54%, demikian Hasira De Silva dan Robin Sutanto, analis Fitch Ratings dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Mungkin akan lain ceritanya jika sejak awal Lippo Group menempuh modus administrasi yang lazim. Mengurus IMB, Amdal, rekomendasi sesuai dengan kapasitasnya. Tapi itulah hidup, kadang seseorang tergiur oleh sesuatu yang tidak dimiliki, akhirnya hal kecil itu yang membuat sesorang bisa terpuruk.
Apakah ini pertanda berakhirnya mega proyek Meikarta? Atau mega proyek Meikarta berjalan apa adanya? Atau justru sengaja mundur selangkah karena maraknya tahun politik 2018 dan 2019, untuk kemudian maju lagi seribu langkah begitu ada formasi politik baru? Yang jelas semua sedang cooling down.[]